Kata-Kata Ahok Terbukti ! Agama Dipakai Untuk Kendaraan Politik Dan Membodohi Rakyat

http://maxrchsiantarnews.blogspot.co.id/2017/03/kata-kata-ahok-terbukti-agama-dipakai.html

Semenjak kemunculan Ahok menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta banyak pihak yang mencoba dengan beragam cara untuk menjegalnya. Mulai dari tuduhan korupsi, keberpihakannya kepada pengembang dan cara-cara radikal yang ditempuh Ahok dalam merombak birokrasi yang bobrok.
Kesemuanya itu nampak dapat dimentahkan, karena kinerja Ahok sendiri merupakan pembuktian bahwa dirinya adalah pemimpin yang  jujur amanah, meski cara-cara tegas yang dipakainya mungkin tidak biasa bagi sebagian orang. Lalu, dicarilah celah atau jalan untuk menjatuhkan Ahok. Dan cara yang dinilai paling ampuh adalah agama plus ditambah latar belakang Ahok dari etnis minoritas.
Jadi, janganlah melihat penolakan Ahok dari peristiwa di Pulau Seribu, di mana Ahok dianggap melecehkan kitab Suci Al-Qur’an dengan kata-katanya tentang surat Al-Maidah ayat 51. Jauh sebelum itu, ketika Ahok naik menggantikan Jokowi yang naik menjadi Presiden, Ahok sudah disasar karena masalah keyakinan plus etnisnya.
Apa yang disitir Ahok dalam kunjungan kerjanya di Pulau Seribu adalah penekanan bahwa jangan sampai mau dibohongi pakai ayat-ayat kitab suci. Ayat-ayat kitab suci dipergunakan untuk kepentingan politik alih-alih anjuran agama. Apa yang disampaikan Ahok sejalan dengan tesis dari Charles Kimball bahwa “Teks suci adalah unsur agama yang paling mudah untuk disalahgunakan.” (Kimball, 2013:98).
Adakah yang salah dari pekataan Ahok ? Satu hal pasti, setelah kata-kata Ahok terlontar, maka berjilid-jilid demonstrasi dan unjuk rasa silih berganti melanda Ibukota. Bahkan sebagian besar peserta demonstrasi adalah orang-orang dari luar Ibukota. Sungguh perasaan beragama sudah sedemikian dipolitisasi sehingga menimbulkan kegaduhan yang luar biasa.
Kata-kata Ahok kemudian dianggap sebagai penistaan terhadap agama Islam, dan membuatnya terseret ke meja hijau. KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam wawancaranya dengan Majalah TEMPO (edisi 15-22 Januari 2017) mengatakan: “Unsur penistaannya di mana? Jika tindak Basuki (Ahok) dianggap penistaan agama, penganut Islam akan banyak yang kena, sebab orang Islam juga banyak sekali yang menistakan agama lain. Mereka bisa dituntut balik dan bisa menimbulkan aksi saling tuntut. Jadi harus dijelaskan letak unsur penistaannya dan jangan mau dibodohi. Saya curiga, siapa yang pertama kali mencetuskan penistaan agama.”
Tidak cukup hanya sampai di sini. Politisasi agama semakin menjadi-jadi di Pilkada DKI. Beberapa masjid di Jakarta memasang spanduk yang isinya melarang untuk mensholatkan jenazah orang-orang yang mendukung Gubernur Petahana, Ahok. Menurut mereka, hal ini mereka lakukan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an. Benarkah demikian, hanya karena berbeda pilihan politik maka jenazah seseorang tidak boleh disholatkan ? Mereka yang beranggapan tidak boleh mensholatkan para pendukung Ahok menilai bahwa para pendukung Ahok sudah termasuk ke dalam golongan kaum munafik.
Namun, hal ini cepat ditepis oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, wajib bagi orang Islam untuk menyalatkan Muslim yang meninggal meski yang bersangkutan dituduh munafik atau kafir. “Kita tidak boleh menghukumi seseorang itu munafik atau kafir, yang berhak hanya Allah SWT,” kata Zainut di Jakarta, Sabtu (25/2). (sumber : Republika.co.id). Lantas, apakah hak kita untuk menghukumi para pendukung Ahok dengan sebutan munafik ? Tidakkah kita mendahului bahkan berlaku sebagai Tuhan ?
Fenomena ini sungguh membahayakan. Identitas agama dan etnis dipakai untuk kepentingan dan kendaraan politik. Bahkan, dalam Pilkada DKI ini penyelewengan dan menunggangi agama untuk syahwat politik jelas kentara. Hanya lantaran untuk menjegal Ahok kembali tidak berkuasa di DKI, maka cara-cara seperti ini ditempuh dengan terang-terangan.
Pertanyaan yang tertinggal, terutama untuk Partai-Partai Islam yang menolak Ahok lantaran Ahok mempunyai keyakinan yang tidak sama dengan mayoritas masyarakat bangsa ini adalah, sudahkan kalian konsisten memerjuangkan agama atau justru memanfaatkan agama sebagai kendaraan politik semata ? Bagaimana dengan 22 pilkada yang sudah diselenggarakan di mana calon yang kalian usung justru adalah nonmuslim ? Apakah Surat Al-Maidah ayat 51 hanya berlaku bagi Ahok, bagi Jakarta semata ? Tidakkah ini memerlihatkan ketidak konsistenan kalian ? Masyarakat tidak bisa dibodohi lagi, apa yang kalian pertontonkan adalah jelas-jelas pemanfaatan agama untuk urusan jangka pendek, yakni kursi kekuasaan.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate

Total Tayangan Halaman

Wikipedia

Hasil penelusuran

Postingan Populer

Arsip Blog